Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [Ali-Imran : 159]
Mengaja saudara kita menuju kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran, sejatinya adalah bentuk kasih sayang. Ya, betul sekali bahwa hidayah adalah milik Allah dan Dia memberikannya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Namun adalah tugas dari Dia pula agar kita berikhtiar mendatangkan hidayah tersebut kepada diri kita dan saudara-saudara kita.
Islam menyebutnya dengan nama “amar ma’ruf nahi munar” yakni memerintahkan (menyeru atau mengajak) manusia agar berbuat baik dan mencegah mereka dari perbuatan munkar (buruk/jahat). Kewajiban ini melekat pada diri seluruh muslim, baik ia sendiri telah jadi orang baik ataukah masih belum mampu mengerjakan semua kebaikan itu.
Tidak ada alasan menunda tugas mulia ini hanya karena kita merasa masih beum sempurna beramal. Karena jika itu yang dijadikan alasan, niscaya kita tak akan pernah melakukannya. Sebab tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia adalah tempatnya salah dan lalai, tempat aneka kekurangan bersemayam.
Namun demikian, saling menashihati dalam kebenaran merupakan kewajiban asasi yang harus saling kita tunaikan. Antara satu dengan lainnya kita saling mengingatkan seraya terus melakukan introspeksi diri.
Syaratnya, semua koreksi dan nashihat yag kita sampaikan harus dilandasi oleh rasa kecintaan, bukan nafsu untuk mencari-cari aib dan kesalahan. Selain itu, nashihat yang disampaian juga harus dilakukan dengan lemah lembut dan pengajaran yang baik. Semuanya untuk menyentuh hati bukan menyinggung harga diri.
Kelembutan adalah tanda kebaikan. Tidak bisa disebut baik sesuatu itu jika dia tak memiliki kelembutan. Sikap ekstrim dengan dalih menyampaikan kebenaran sungguh merupakan kesalahan. Kita boleh tegas namun tak perlu kasar, karena ketegasan toh bisa disampaikan dengan penuh kelembutan juga.
” Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]
Saudaraku, nashihat tak sama dengan caci maki. Kritik sangat beda dengan ghibah. Peringatan sangat jauh dari fitnah. Namun sayang… masih banyak ‘pendakwah’ yang tak sabar. Mereka putus asa karena dakwahnya tak langsung diterima… Lalu atas dasar amar makruf nahi munkar… caci-maki, ghibah dan fitnah pun mereka halalkan…
Padahal sekiranya kita bersikap lemah lembut boleh jadi mereka yang hatinya keras bisa mejadi lunak. Bahkan untuk menghadapi firaun yang sedemikian kufur saja Allah masih memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menyampaikan kebenaran dengan bahasa yang lemah lembut.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [Thaha : 44]
Sungguh kelembutan merupakan perhiasan akhlaq yang teramat indah. Andaipun dakwah yang kita sampaikan tidak juga diterima oleh orang lain, paling tidak kelemah lembutan tersebut telah menghiasi diri kita dan membawa kemuliaan bagi pribadi kita sendiri.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya”. [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]
Jadi, tak akan pernah rugi menjadi pribadi yang lemah lembut. Meski terkadang kelembutan banyak diremehkan bahkan diperhinakan, namun penghinaan tersebut sedikitpun tak aan menurunan kemuliaan sebuah kelembutan bahkan kian membuatnya berkilau.
Wallahu a’lam
(Asya)