Samarinda – Kemerdekaan pers dan keterbukaan informasi publik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama dilahirkan dari rahim reformasi, meski berbeda waktu dalam penerapan perundang-undangannya.
Jika kemerdekaan pers lahir tepat tumbangnya rezim Orde Baru, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik justru baru lahir delapan tahun kemudian. Meski begitu, keduanya memiliki peranan yang penting dalam penegakan supermasi sipil. Sehingga kewajiban bagi masyarakat untuk menjaga dua kebebasan tersebut.
Inilah yang mengemuka dalam Diskusi Publik Kemerdekaan Pers dan Keterbukaan Informasi Publik, baru-baru ini.
Kegiatan di Sekretariat PWI Kaltim, Jalan Biola Samarinda ini, merupakan kolaborasi Komisi Informasi (KI) Kaltim, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kaltim, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim dan didukung Program Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Indris (UINSI) Samarinda.
Dua narasumber dihadirkan, pertama Ketua PWI Kaltim Endro S. Efendi dan Wakil Ketua KI Kaltim Imran Duse, sementara sebagai moderator Komisioner KI Indra Zakaria. Kegiatan diskusi tersebut dibuka Ketua KI Kaltim Ramaon Damora Saragih.
Hadir juga sejumlah Komisioner KI Kaltim lainnya, di antaranya: Erni dan Khaidir. Sementara itu, beberapa pengurus teras PWI Kaltim juga turut meramaikan jalannya diskusi yang dihadiri sekitar 50 peserta.
Kegiatan yang berlangsung kurang lebih dua jam itu, banyak mengupas persoalan riil yang terjadi di lapangan. Salah satunya diungkap Koordinator Humas UINSI Samarinda Agus Prajitno S.Si.T., M.Eng dalam sesi tanya jawab.
Menurutnya, berdasarkan pengalaman berkecimpung dalam bidang kehumasan, ternyata banyak faktor yang mempengaruhi, bukan saja dari internal, namun juga faktor eksternal turut berpengaruh.
“Salah satunya ketersedian bandwidth yang turut berpengaruh pada kemampuan penyampaian informasi itu sendiri. Yang kedua, apakah mereka yang berkecimpung di kehumasan bisa menyebut diri sebagai wartawan, kemudian kami berharap adanya semacam pelatihan penulisan untuk kami (Humas UINSI, red) agar dalam penyampaian informasi bisa sesuai kaidah jurnalistik,” ujarnya.
Imran Duse menanggapi hal tersebut, bahwasannya bandwidth merupakan faktor yang sangat teknis, namun dari segi keterbukaan informasi, maka ada aturan jelas bagaimana informasi yang bisa dibuka ke publik.
Sementara Endro merespons mengenai istilah wartawan. Dia pun menegaskan, awak humas berdasarkan ketentuan, tak bisa menyebut diri wartawan, kendati lingkup yang mereka lakukan sangat dekat dengan pekerjaan wartawan.
“Beda ya, kendati kerja-kerja yang dilakukan mirip. Untuk humas sebutannya pranata humas, sementara untuk menjadi wartawan ada regulasi yang mengaturnya,” jelas Endro.
Mengenai pelatihan, PWI sangat membuka diri, apalagi kata Endro telah ada jalinan kerja sama antara PWI dan UINSI Samarinda. “Kami siap, kapan saja dari pihak UNISI siap,” ujar Endro yang juga mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Pascasarjana UINSI Samarinda ini.
Hal tak kalah menarik yang ditanya, soal berita yang tersebar di media sosial dilihat dari sudut hukum. Penjelasan soal ini cukup panjang lebar, namun benang merah yang bisa disampaikan, jika berita yang disampaikan merupakan produk pers, maka Undang-Undang Pers No 40/1999 berlaku jika terjadi sengketa pers.
“Namun untuk informasi yang beredar di media sosial, harus dilihat dulu alurnya. Jika ternyata bukan produk pers sesuai kaidah yang ada, maka bisa dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE). Pada kesempatan ini, saya imbau bijaklah menggunakan media sosial, agar tak terjerat persoalan hukum,” pungkasnya.
Pewarta: Fahmi
Editor : Rhd