KUTAIKARTANEGARA, Berdasarkan penelusuran dan penjajakan didukung data dari sumber yang kompeten dan kredibel dihimpun Koresponden Mingguan Berita Rakyat Kaltim terkait Erau Pemberian gelar kepada Paduka Nira dalam dokumen ,SALASILAH / Silsilah Kutai Perlu Dilestarikan Terkait Adat Istiadat dan Budaya” dijelaskan secara gamblang mengatakan : Aji Batara Agung Dewa Sakti tidak pernah lagi muncul menjenguk anaknya Paduka Nira.
Ini berarti Puteri Karang Melenu sudah tidak dapat dibujuk lagi untuk kembali ke dunia, karena hatinya sudah patah.
Aji merasa bahwa ia telah menyia-nyakan cinta yang tulus dan suci dari Puteri, dan oleh karenanya Aji pun tidak ingin berpisah dengan Puteri di alam kayangan.
Maka tinggallah Paduka Nira di dunia dengan diasuh oleh nenek-neneknya Babu Jaruma dan Minak Mampi.
Bila Paduka Nira menangis merekapun menuruti pesan dari P:uteri Karang Melenu, yaitu memasukkan anak bayi itu ke dalam tajau.
Bilamana Paduka Nira sudah berada di dalam tempat itu, tangisnyapun mereda.
Pernah dicoba oleh neneknya Paduka Nira dibujuk-bujuk dan dinyanyi-nyanyikan untuk meredakan tangisnya, namun tidak akan berhasil kecuali kalau dia sudah dimasukkan ke dalam tajau.
Demikianlah dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun Paduka Nira diasuh olehBabu Jaruma dan Minak Mampi serta juga oleh sang tajau yang bertuah itu.
Paduka Nira semakin besar, semakin lama semakin agung nampaknya, rupanya seperti bulan purnama bercahaya, sehingga siapa yang memandang akan mengandung rindu birahi.
Setelah Paduka Nira berusia empat belas tahun, maka Babu Jaruma dan Nyai Minak Mampi pun bermufakat untuk mengadakan Erau memberi gelar Aji Batara Agung kepada Paduka Nira.
Persiapan Erau pun mulai dilaksanakan berminggu-minggulamanya.
Pada hari baik dan bulan baik menurut perhitungan kedua neneknya itu, pesta mulailah dilaksanakan.
Semua meriam yang ada di negeri dibunyikan sebanyak tujuh kali, gamelan gajah Prawata dimainkan, demikian juga kelintangan Eyang Ayu dipukul. Empat puluh hari empat puluh malam penduduk yang bersuka-sukaan diberi makan minum.
Untuk keperluan ini bermacam-macam ternak dipotong : kerbau, sapi, kijang, menjangan, angsa, dan itik.
Setelah genaplah waktu makan minum itu selama empat puluh hari empat puluh malam, maka Paduka Nira pun diberi pakaian kebesaran dengan perhiasan-perhiasan dari emas, seperti berkalung rantai emas bergelang emas tiga susun, berkeris yang bertahtakan emas dan bercincin kumala yang menghiasi jari manisnya pada tangan kiri.
Dengan wajah yang bersinar seperti bulan empat belas W ditambah pula cahaya dari perhiasan emas yang gemerlapan yang lebih dari cincin kumala, Paduka Nira dibawa dengan arak-arakan kebesaran menuju ke Balai Panca Persada, dibawah payung kuning diiringi oleh Pan Punakawan, Para Demang dan Punggawa dan oleh sejumlah kepala-kepala negeri tetangga yang diundang untuk menghadiri upacara pemberian gelar ini.
Setelah tiba di balai Panca Persada, Paduka Nira pun didudukkan di atas kasur agung di tilam hamparan berhadapan dengan sekalian menteri yang sudah menanti kedatangannya di balai itu.
Dengan hidmat Paduka Nira di Balai Panca Persada ini diberi gelar Aji Batara Agung Paduka Nira.
Setelah Paduka Nira menerima gelar Aji batara Agung itu, tiba-tiba penduduk melihat air sungai berbuih-buih menutup seluruh permukaan air mereka pun saling berpandangan keheranan.
Salah seorang berkata : “Mungkin Puteri Karang Melanu timbul kembali untuk menyaksikan pemberian gelar Aji Batara Agung kepada anaknya itu”.
Maka ramailah orang berdesak-desakan ke tepian untuk melihat Puteri Junjung Buih dari Kutai itu menampakkan dirinya kembali.
Empat belas tahun mereka tidak melihat Puteri, apakah dia akan tetap cantik sebagaimana dahulu? Semuanya menanti dengan hati berdebar-debar, yang berpenyakit darah tinggi jatuh pingsan dan yang lemah jantung mati terkapar.
Yang jatuh pingsan juga turut mati, karena terinjak-injak oleh kaki orang berdesak-desakan.
Akan tetapi betapa kagetnya penduduk, karena yang muncul dan permukaan air bukanlah Puteri Karang Melanu, akan tetapi empat puluh dewa-dewa, dengan wjaah tampan dan berwibawa masing-masing ditangannya membawa air tepung mawar.
Mereka meniti buih menuju ketepian dan dengan arakan meriah para dewa itu menuju Balai Panca Persada, dengan dielu-elukan oleh penduduk yang pada mulanya terpaku, akan tetapi kemudian bergembira ria melihat arak-arakan yang meriah ini.
Aji Batara Agung Paduka Nira dilepas oleh ke empat puluh Dewa ini dan kemudian menepung tawarinya untuk menambah kesaktian Sang Aji.
Setelah selesai upacara tepung tawar ini Dewa itu kembali sungai meniti buih sampai ke Tanjung Riwana dan kemudian tenggelam seorang demi seorang.
Bilamana semua Dewa sudah masuk ke dalam air, buih-buih yang menutupi permukaan air itupun berterbangan ke angkasa seakan-akan kapas ringannya sehingga tidak terjangkau lagi oleh pandangan mata penduduk.
Suatu pandangan yang indah, yang selama ini tidak pernah dilihat oleh penduduk.
Setelah Aji bergelar dan bertepung tawar, maka diapun dibawalah ke Balai Penghadapan, dimana para menteri, demang, punggawa, penakawan, kepala-kepala negeri tetangga menghadap untuk memberikan restu kepada Aji Batara Agung Paduka Nira.
Bilamana malam telah tiba Aji dibawa ke Istana dan para pembesar yang menghadap di Balai Penghadapan masing-masing pulang kerumahnya dan kepala-kepala negeri tetangga pulang ke pasanggrahan yang disediakan.
Karena letih yang sangat Aji Batara Agung tertidur nyenyak dengan tidak sempat membuka pakaian dan segala perhiasan yang dipakainya, dengan dijaga penakawan dan dikipasi oleh para dayang-dayang menghalau nyamuk yang singgah di tubuh Aji.
Akan tetapi Nyai Minak Mampi pada malam itu bermimpi melihat seorang Puteri keluar dari bambu dengan uncal di tangan kanannya dan telor Minak Mimpi memberitahukan mimpinya itu kepada penduduk Hulu Dusun dan Jaitan Layar, kepada orang-orang Sembaran dan Binalu, serta menyatakan bahwa Puteri itulah yang akan menjadi permaisuri dari Aji Batara Agung Paduka Nira kelak.
Berita ini dipersembahkan kepada para pembaca yang budiman serta pembaca setia Mingguan Berita Rakyat Kaltim. (Kors. SUTAN A.D. LUBIS).