Samarinda – Anggapan kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah aib yang tidak boleh dicampuri orang lain di luar keluarga. Sehingga banyak korban memilih untuk tutup mulut dan tidak melaporkan kasus yang dialaminya. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu faktor penghambat upcaya pencegahan dan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Hal ini diungkapkan Nanik Yuliani, warga RT 03, peserta Sosialisasi Program Perlindungan Perempuan yang digelar Dinas Kependududkan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim.
“Di masyarakat masih ada anggapan, KDRT adalah aib keluarga. Akibatnya, banyak korban KDRT memilih untuk diam dan tidak melaporkan kasus yang dialaminya,” kata Nanik dalam sesi tanya jawab.
Anggapan ini juga membuat korban KDRT yang telah dibantu, kemudian mencabut laporannya, karena takut bercerai. “Korban KDRT sering kali takut untuk bercerai, karena khawatir tidak akan bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya,” kata Nanik.
Hal ini ditanggapi Raja Ivan Haryanto, narasumber sosialisasi tersebut. Ivan mengatakan, anggapan KDRT sebagai sebuah aib harus diubah. “KDRT bukanlah aib keluarga. KDRT adalah tindak pidana yang harus dihukum,” kata Ivan.
Ivan berharap, sosialisasi program perlindungan perempuan ini dapat membantu mengubah anggapan masyarakat tentang KDRT. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam mencegah dan menangani kasus KDRT.
Ivan juga memberikan solusi untuk mengatasi kebiasaan korban KDRT yang dibantu, kemudian mencabut laporannya karena takut bercerai. “Korban KDRT perlu mendapatkan pendampingan yang berkelanjutan, baik dari segi hukum, sosial, maupun psikologis,” kata Ivan.
Ivan mengatakan, pendampingan ini penting untuk membantu korban KDRT untuk mengambil keputusan yang tepat, baik itu tetap melanjutkan pernikahan atau bercerai. (*/adv/dkp3a/ama)