Samarinda – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim beberapa waktu lalu membuat aturan baru terkait kelulusan mahasiswa S1 atau D4.
Nantinya, mereka tidak lagi wajib skripsi sebagai syarat kelulusan kuliah. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Menanggapi hal itu Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Salehuddin mengatakan kebijakan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa di perguruan tinggi. Ia setuju agar skripsi diganti dengan tugas akhir berbentuk jurnal ilmiah.
“Saya setuju jika skripsi ditiadakan, tetapi beberapa tahapan semester itu harus menggambarkan semacam publikasi ilmiah tanpa harus skripsi,” kata Salehuddin di Samarinda, belum lama ini.
Ia mengatakan, skripsi merupakan salah satu bentuk karya ilmiah yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian dan menghasilkan pengetahuan baru.
Namun, ia menilai skripsi juga dapat menjadi beban bagi mahasiswa, terutama pada semester akhir.
Ia menyarankan agar mahasiswa diberi tugas membuat jurnal pada semester sebelum lulus. Dengan begitu, mahasiswa akan memiliki waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan jurnalnya dan tidak terbebani pada semester akhir.
Salehuddin juga menyarankan agar pihak kampus memberikan poin kredit kepada mahasiswa yang berhasil mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal yang terakreditasi. Hal ini untuk mendorong mahasiswa untuk lebih giat melakukan penelitian dan menghasilkan karya ilmiah.
“Saya berharap kebijakan penghapusan skripsi tidak akan menurunkan kualitas pendidikan dan lulusan perguruan tinggi di Indonesia karena kita harus menjaga mutu pendidikan,” tuturnya.
Menurutnya kebijakan penghapusan skripsi mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang mendukung kebijakan tersebut karena dinilai dapat mengurangi beban mahasiswa. Namun, ada juga yang menolak karena khawatir akan menurunkan kualitas pendidikan.
“Kita harus tetap menjaga mutu pendidikan. Jangan sampai ada kesan, lulusan Indonesia tidak mampu bersaing dengan lulusan negara lain karena tidak punya karya ilmiah,” ujarnya.
Salehuddin menekankan skripsi tidak seharusnya menjadi satu-satunya patokan utama dalam menentukan kompetensi ilmiah mahasiswa.
“Skripsi memang salah satu bentuk penilaian, namun tidak bisa dijadikan ukuran tunggal. Kita harus melihat lebih luas lagi, seperti partisipasi dalam penelitian, publikasi ilmiah, dan keterampilan praktis yang relevan dengan bidang studi,” ujar Salehuddin.
Ia menambahkan bahwa universitas harus mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan analitis dan praktis mereka.
“Ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kemampuan seorang mahasiswa,” tuturnya. (Adv/DPRD Kaltim)