Samarinda – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) saat ini sedang memperdalam atau mendalami rancangan peraturan daerah (Raperda) untuk menjamin perlindungan dan pembentukan kelembagaan desa adat di Bumi Etam.
“Selama ini, banyak potensi desa adat di Kaltim tidak mendapatkan pengakuan secara hukum,” kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kaltim Pembahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pembentukan Kelembagaan Desa Adat, Rusman Ya’qub di Samarinda, Selasa.
Ketiadaan pengakuan tersebut, seringkali menimbulkan benturan di lapangan antara masyarakat adat dengan pihak investor, terutama terkait dengan konflik lahan.
“Contohnya, banyak lahan adat beralih fungsi menjadi kebun sawit atau pertambangan, yang mengakibatkan masyarakat adat mengalami risiko kerugian,” ungkapnya.
Rusman menjelaskan, Raperda Pembentukan Kelembagaan Desa Adat bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan pengakuan terhadap keberadaan desa adat di Kaltim.
“Dengan adanya perda ini, diharapkan desa adat dapat terlindungi dan memiliki legalitas yang kuat dalam mengelola wilayah dan sumber daya adat mereka,” ujarnya.
Raperda tersebut juga diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik-konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat di Kaltim.
“Pansus DPRD Kaltim terus berupaya menyelesaikan pembahasan Raperda ini agar dapat segera disahkan dan diberlakukan,” tuturnya.
Selain pengakuan dan perlindungan, Raperda tersebut juga mengatur tentang kelembagaan desa adat, hak dan kewajiban desa adat, serta pendanaan desa adat.
“Dengan terwujudnya desa adat yang kuat dan berdaya, maka dapat berkontribusi pada pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat adat di Kaltim,” kata Rusman.
“Kami sebagai DPRD Kaltim merasa perlu melahirkan perda ini karena sadar akan risiko kehilangan identitas budaya dan sosial yang telah ada sejak sebelum republik ini berdiri,” ujar Rusman.
Menurutnya, tanpa perlindungan yang memadai, desa-desa adat di Kaltim bisa lenyap ditelan oleh investasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya.
Rusman menambahkan bahwa keberadaan desa adat dan lembaga-lembaga adat merupakan bagian fundamental dari sejarah dan pembentukan negara. “Investasi memang penting, tapi tidak boleh mengabaikan atau merusak habitat sosial manusia yang telah ada turun-temurun,” tegasnya.
DPRD Kaltim berkomitmen untuk memastikan bahwa perda tersebut tidak hanya melindungi, tetapi juga mengakui dan menghargai kontribusi desa-desa adat dalam menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat.
“Kami berharap perda ini dapat menjadi langkah konkret dalam menjaga keberlangsungan dan kelestarian budaya serta kehidupan sosial masyarakat Kalimantan Timur di tengah arus modernisasi dan globalisasi,” tutur Rusman.
Informasinya, konflik IKN juga lebih bersifat konflik lahan yang menyeret masalah adat, bukan konflik tentang ibu kota negara yang memang digeser ke luar Jawa untuk pemerataan dalam jangka panjang.(Ahm)